Oleh: Prof. Admi Syarif, PhD
Dosen Unila dan tukang tulis
Bandar Lampung, Alamanahjurnalis.com | (29/01/2025) - “Kyay saya otw Nuwono Tasya, bawa lukisan." Sebuah pesan WA masuk ke ponsel saya kemarin sore. Pesan itu datang dari Juwendra Asdiansyah, seniman yang juga jurnalis senior terkenal di Lampung Saya beberapa waktu lalu memang memesan lima lukisan karyanya untuk menjadi koleksi pribadi saya.
Adinda Juwendra, atau yang lebih akrab disapa Bang Juwe, bukanlah seniman biasa. Dia adalah wartawan senior yang telah melanglang buana dalam dunia jurnalisme, mantan pemimpin redaksi Forum Keadilan, pemimpin redaksi duajurai.co, dan redaktur pelaksana Tribun Lampung, menulis sejumlah buku, serta moderator yang telah memandu 35 debat pemilihan kepala daerah di Lampung.
Sosoknya tidak hanya dikenal kritis, tajam dalam menganalisis, tetapi juga memiliki jiwa seni yang tak terbendung.
Bagi banyak orang, Bang Juwe adalah saksi hidup perjalanan demokrasi di Lampung. Dia bukan hanya mencatat sejarah lewat pena, tetapi juga melalui sapuan kuasnya. Jika dalam dunia jurnalistik dia menyajikan fakta yang lugas, dalam dunia seni, dia menghadirkan interpretasi yang lebih liar, lebih bebas, dan lebih personal.
Kisah Bang Juwe sebagai seniman berawal dari kegemarannya menggambar semasa SMA. Bersama tim SMAN 2 Tanjungkarang dia memenangi lomba karikatur dan majalah dinding tingkat Provinsi Lampung dua tahun berturut-turut pada 1993 dan 1994.
Hobi menggambar ini pula yang membawanya aktif di surat kabar kampus Unila, Teknokra.
"Sebenarnya saya mau masuk UKMBS, tapi saat itu di UKMBS belum ada bidang seni rupa. Akhirnya saya masuk Teknokra karena di sana ada bagian artistik yang bisa menjadi tempat saya menyalurkan hobi menggambar," katanya kepada saya.
Semasa di Unila pula, dia meraih juara I lomba karikatur pada Peksimida tingkat Unila dan Provinsi Lampung tahun 1997.
Juwe meyakini banyak hal yang tidak hanya bisa ditulis, tetapi juga bisa diekspresikan melalui lukisan di atas kanvas.
Awal Januari ini, puluhan lukisan karyanya dipamerkan di hadapan gubernur Lampung terpilih, Rachmat Mirzani Djausal. Salah satu lukisan berjudul "Batas Iman" kemudian menjadi koleksi Iyay Mirza—sebuah pengakuan bahwa karyanya telah menembus batas profesi dan kelas sosial.
Kini, giliran saya yang jatuh hati dengan lima karyanya dan menjadikannya bagian dari ruang hidup saya. Saya memilih lukisan-lukisannya yang menghadirkan kesan ambigu, penuh tanda tanya, jenaka, dan juga menyimpan kesan sinis.
Menurut Juwe, lima lukisan Gerombolan Botak yang masing-masing berjudul Kepala Suku, The Goendoels, Hage No Hito, Khodam dan Garwo tersebut merepresentasikan manusia-manusia di era ini—berkerumun, berbicara, tetapi seringkali tanpa arah yang jelas. “Setiap wajah di gerombolan botak ini punya cerita,” tuturnya saat kami ngopi sore di Nuwono Tasya. “Mereka ada yang bicara, tapi kadang diam. Sama seperti kita di dunia nyata.”
Tetap saja saya menangkap kesan absurd (mak jelas) dari kelima lukisan ini. Figur-figur botak yang berkerumun, menatap dengan ekspresi seolah saling menertawakan. Tentu ada juga kesan kehangatan dalam gerombolan yang sulit dijelaskan. Bang Juwe tak juga menjelaskan kepada saya ihwal interpretasi pasti atas kelima karyanya. Dia seolah membiarkan saya menikmati dan menyelami sendiri makna di balik lukisan-lukisannya.
Keunikan lain dari lukisan Gerombolan Botak ini
adalah pemilihan material bingkai dengan kayu erosi—potongan kayu yang telah lama tergerus waktu, hanyut di sungai, atau tersapu ombak sebelum akhirnya ditemukan kembali dan diberi kehidupan baru.
Buat saya bingkai erosi ini tidak sekadar estetika tapi juga simbol kembalinya sesuatu yang tergerus perjalanan waktu, dengan makna yang lebih dalam. Begitu pula dengan lima lukisan Gerobolan Botak yang akhirnya akan menemukan jalannya sendiri untuk berbicara kepada dunia.
Kini, lima lukisan ini telah menjadi bagian dari koleksi saya. Mereka bukan sekadar pajangan, tetapi jendela untuk melihat pemikiran seorang seniman sekaligus wartawan yang telah mengabadikan berbagai peristiwa besar di negeri ini.
Setiap kali saya menatap Gerombolan Botak tersebut terasa ada dialog—antara seni, kehidupan, dan saya sendiri.
Harapan selalu kita gantungkan, semoga Bang Juwe terus menulis dan tetap melukis untuk konsisten mengungkap kebenaran.
Tetaplah menjadi seorang jurnalis dengan tulisan setajam pedang, dan juga seniman yang matang.
Dang lupo BAHAGIA geh ! Teruslah berbuat BAIK.