Alamanahjurnalis.com - Hari pencoblosan tinggal 20 hari lagi. Sejarah baru bakal tercatat pada 14 Februari. Kita akan mendapatkan pasangan presiden dan wakil presiden baru, begitu pula wakil rakyat.
Komisi Pemilihan Umum menetapkan pemilih Pemilu 2024 lebih dari 204 juta orang (204.807.222). Daftar pemilih tetap (DPT) ini naik 12 juta dari Pemilu 2019.
Rinciannya, 203.056.758 pemilih dalam negeri dan 1.750.474 pemilih di luar negeri. Mereka tersebar di 823.220 tempat pemungutan suara (TPS).
Mayoritas pemilih (52 persen) merupakan pemilih muda (17-40 tahun). Ada 66.822.389 pemilih (33,6 persen) masuk kategori generasi milenial (lahir 1980-1994) dan 46.800.161 pemilih (22,85 persen) adalah generasi Z (Gen Z).
Generasi terakhir tersebut berusia antara 17-21 tahun pada hari pencoblosan nanti. Untuk kali pertama mereka akan menggunakan hak suaranya.
Dengan suara sebesar itu, kalangan muda target potensial yang layak dipertimbangkan. Di Jawa Barat, daerah dengan DPT terbanyak (35 juta), misalnya, ada 7,5 juta (21 persen) ialah pemilih pemula.
Sejak medio 2023 hingga Januari ini, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di daerah-daerah kerja keras rekam data KTP elektronik untuk pemilih pemula. Di Tasikmalaya, misal, petugas dukcapil sampai jemput bola ke sekolah-sekolah dan rumah warga.
Strategi kampanye paslon capres/cawapres dan caleg pun berubah. Mereka merasuk ke kehidupan anak-anak muda: media sosial—dari TikTok, Instagram, dan YouTube.
Karena politik elektoral di Indonesia sangat pragmatis, tak sedikit kandidat berjualan profil diliputi gimik-gimik, bukan gagasan-gagasan: joget TikTok, jargon-jargon politik dangkal asal viral.
Suara pemilih muda atau pemula pun cenderung hanya dijadikan komoditas politik.
Politainment
Ada istilah “politainment” yang muncul di akhir abad 20. Pada 1998, David Schultz, profesor Ilmu Politik Universits Minnesota Amerika Serikat, menulis tentang politainment kala Jess Ventura terpilih sebagai Gubernur Minnesota, AS. Jess Ventura, salah satu contoh bagaimana politainment bekerja ketika pemilihan berlangsung.
Politainment perpaduan antara “politics” dan “entertainment”. Dalam makalah “Politainment in Egyptian and German Newspaper: A Comparative Study”, peneliti Sara S Elmaghraby menyebut ada dua hal yang terkandung dalam politainment, yaitu hiburan politik dan politik yang menghibur.
Kedua hal itu juga menggambarkan kondisi Pemilu 2024 di Indonesia. Para kandidat menggunakan cara-cara hiburan untuk mempromosikan citra diri, seperti joget gemoy, live TikTok, politik santuy, memakai model kostum tertentu, gimik anime, humor slepet, dan lain-lain.
“Politik menghibur,” kata Sara, “mengubah kenegarawanan menjadi showmanship—(pandai berlagak/berpenampilan di publik, pen)—hal ini merobohkan tembok batas antara fakta dan fiksi,” tulis Sara.
Pendek kata, para kandidat atau politisi lebih banyak menampilkan hiburan, bukan subtansi apa yang dikampanyekan. Ini yang perlu diwaspadai oleh para pemilih pemula dan pemuda.
Terlebih media-media massa saat ini cenderung menyoroti gaya atau reaksi kandidat, bukan substansi kampanye atau debat. Harian Kompas telah mengingatkan lewat laporan bertajuk “Jebakan Algoritma di Tengah Banjir Berita ‘Politainment’”.
“Acuan mesin algoritma merangsang media membuat berita bernuansa politainment. Hal itu patut diantisipasi karena berpotensi menjauhkan peran media dalam mengedukasi masyarakat,” tulis Kompas.
Di era politainment seperti sekarang, narasi yang dibangun oleh kandidat atau politisi cenderung bukanlah realitas sesungguhnya, tapi narasi yang cenderung palsu (false narrative). Fungsinya menutupi fakta-fakta tentang para kandidat.
Menurut David Schultz dalam buku “Politainment The Ten Rules of Contemporary Politics”, politik adalah tentang mendefinisikan atau terdefinisikan, di mana “citra adalah segalanya”.
Untuk memoles citra, kini para kandidat menggunakan berbagai media, terutama media sosial yang dipakai pemilih muda dan pemula. Para kandidat berupaya mengeksploitasi narasi untuk mendapatkan perhatian pemilih pemula.
Bagaimana pun, kata Schultz, “Politik adalah sebuah cara bercerita, mobilisasi, dan menangkap swing voter (pemilih mengambang). Ini tentang bagaimana mengelola citra juga.”
“Inilah dunia multimedia di mana politik dan budaya pop hiburan menyatu. Kita hidup dalam persaingan pesan, semua mencari perhatian kita,” katanya.
Oleh karenanya, #KawanAksi, khususnya yang baru akan memilih pertama kali, gunakan hak suara kalian dengan benar. Jangan pernah tukar suara kalian dengan sembako, uang, atau hal-hal lain. Suara kalian sangat menentukan ke mana bangsa dan negara ini bakal dibawa.
Pilihlah mereka yang berintegritas, jejak rekamnya, laporan harta dan kekayaannya, periksa latar belakang parpol pengusung, dan bagaimana mereka berkampanye: tabrak aturan atau tidak.
Suara pemilih pemula dan muda memberikan kontribusi besar. Mari #KawanAksi, kita serukan untuk ramai-ramai menggunakan suara dengan integritas. Sekali lagi, tolak segala bentuk “serangan fajar”—praktik ini merupakan penghianatan terhadap integritas.[]
Sumber : aclc.kpk.go.id