Alamanahjurnalis.com - Dilansir dari Kompas.id - Perubahan iklim adalah konsekuensi tidak terhindarkan dari rangkaian panjang aktivitas manusia. Dampaknya dirasakan oleh semua penghuni Bumi. Perlu kerja keras semua bangsa untuk memitigasi dampaknya. Apalagi, dibutuhkan dana besar untuk proses mitigasi itu.
Wakil Tetap RI di Geneva, Febrian Ruddyard, menyebut, pembangunan tidak hanya perlu diselaraskan dengan mitigasi perubahan iklim. Pembangunan juga perlu diselaraskan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). ”Untuk mencapainya, hanya tersisa tujuh tahun dari sekarang,” katanya di Geneva, Swiss.
Karena waktu yang tersisa tinggal sedikit, perlu terobosan dan perubahan cara penggalangan dana untuk membiayai mitigasi itu. Penggalangannya juga perlu lebih intensif. Perwakilan Tetap RI Di Geneva antara lain menggali ide-ide perubahan itu dari perwakilan RI dan lembaga sejumlah negara lain. Penggalian itu dilakukan lewat seminar yang diselenggarakan di Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di Geneva pada Selasa (5/9/2023).
Seminar itu bagian dari upaya menunjukkan kontribusi Indonesia dalam pendanaan perubahan iklim. Sasaran utama diplomasi itu adalah anggota PBB dan lembaga yang terakreditasi di PBB. Lembaga internasional yang berkantor di Geneva juga menjadi sasaran kegiatan diplomasi itu. Para pembicara dan penanggap antara lain membahas sejumlah contoh pendanaan di berbagai negara dan kawasan.
Dari Indonesia, pembicaranya antara lain Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Laksmi Dewanti. Pejabat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memaparkan sejumlah upaya pendanaan oleh Indonesia. Bentuknya antara lain mekanisme perdagangan karbon hingga penerbitan sukuk. Intinya, Indonesia memanfaatkan beragam sumber pendanaan.
Perspektif nasional
Dalam perspektif Indonesia, dana untuk penanganan dan mitigasi dampak perubahan iklim ditaksir mencapai Rp 3.700 triliun. Taksiran itu berdasarkan peta jalan Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional untuk Perubahan Iklim atau dikenal pula sebagai NDC. Peta jalan itu disusun untuk dicapai sampai 2030.
Dari kebutuhan itu, paling banyak 27 persen bisa didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara swasta nasional paling banyak hanya bisa mendanai 25 persen dari keseluruhan kebutuhan itu. Sisanya perlu dicari dari sumber-sumber lain, termasuk dari internasional.
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) menjadi salah satu landasan pendanaan internasional untuk perubahan iklim. Konvensi itu diturunkan pada Protokol Kyoto dan Kesepakatan Paris.
Salah satu komitmen dari konvensi hingga kesepakatan itu adalah negara maju menyediakan hingga 100 miliar dollar AS per tahun. Dana itu untuk membiayai mitigasi dampak perubahan iklim. Belakangan, dana itu juga diharapkan dipakai membantu negara miskin dan negara berkembang melakukan transisi energi ke sumber yang bersih dan terbarukan.
Sayangnya, sampai sekarang, komitmen itu tidak kunjung terwujud. Padahal, dampak perubahan iklim semakin nyata. Musim panas 2023 menjadi periode terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah. Karena itu, kerja sama untuk memitigasi dampak perubahan iklim tidak bisa ditunda lagi.
Diplomasi lain
Aktivitas diplomasi PTRI Geneva tidak hanya terkait perubahan iklim. Sebagai wakil RI untuk berbagai organisasi internasional yang berkantor di Geneva, PTRI Geneva juga terlibat dalam aneka forum internasional di sana.
Bersama New York, Geneva menjadi lokasi kantor pusat PBB. Sebagian kegiatan PBB berlangsung di Geneva. PTRI Geneva antara lain terus aktif dalam pembahasan penerapan traktat antipenyebaran senjata nuklir dan traktat pemusnahan senjata nuklir. Bagi Indonesia, pelucutan total senjata nuklir adalah tujuan utama untuk menjamin kedamaian global.
PTRI Geneva juga secara rutin memperkenalkan aneka kebudayaan dan potensi Indonesia di Kantor PBB Geneva. Pameran dan pertunjukkan kesenian dan kebudayaan dari berbagai daerah di Indonesia secara rutin digelar di PTRI Geneva. Peringatan perayaan kemerdekaan RI salah satu momentum untuk promosi itu. (*nqa*)