Alamanahjurnalis.com - Kehidupan abad ke-21 yang menurut para ahli sebagai abad keterbukaan, abad informasi, abad teknologi dan abad globalisasi, berkembang Paradigma Post Modernisme dan Paradigma Strukturalisasi. Rekonstruksi pemikiran atau paradigmatik di masa yang akan datang ditindaklanjuti melalui diskusi-diskusi intensif serta ijtihad yang sungguh-sungguh harus dilakukan untuk melahirkan paradigma baru.
Dengan menggunakan konsep masa depan lewat sosiologis strategis, yaitu di mana dan kapan suatu masyarakat utama dapat diwujudkan, dan kapan hal itu dapat diwujudkan, dalam satu jangka waktu yang panjang, menengah dan pendek, antara lain yang bersifat pragmatis, dimana fraksisme merupakan kombinasi reflection and action (aksi dan reaksi). Oleh karena itu diperlakukan treatment yang proporsional dan seimbang antara puritan dan modern. Posisi ini (median position, posisi tengah) sangat bagus, tetapi mempunyai resiko dan tantangan besar.
Puritanisme akidah mendesak untuk masuk dalam wilayah muamallah atau karena berkembang paradigma baru, sekarang yang berkembang di arus bawah adalah mubaligh, bukan pemikir. Kelompok-kelompok tadabur Al-Qur’an yang cenderung puritanistik untuk jangka panjang tidak menguntungkan, akan membatasi gerak hingga menimbulkan sikap eksklusivisme dalam hal keagamaan.
Pembaharuan pemikiran (Tajdid) Islam baik yang bercorak purifikatif (pemurnian di bidang ibadah) maupun rasionalistik (bidang muamalah duniawiyah).
Dalam konteks purifikasi, Al Qur’an dan hadits shahih secara tekstual-normatif merupakan paradigma utama dalam komitmen maupun pelaksanaan ibadah mahdah. Dari paradigma tekstual normatif ini melahirkan doktrin : segala sesuatu yang diyakini dan dilaksanakan bila ada perintah (Al Qur’an dan hadits). Sedangkan dalam konteks rasionalistik, Al Qur’an dan Hadits juga tetap merupakan acuan pokok, namun dalam keyakinan dan pengalaman bidang muamalah duniawiyah ini berlaku doktrin, semuanya boleh dikerjakan selama tidak ada larangan atau bertentang dengan Al Qur’an dan Sunnah, dengan pemikiran bahwa yang abadi (tak dapat digugat) adalah teks Al Qur’an (Qath’i al-Wurud), sedangkan rumusan interpretasinya tetap relatif (Zanny al-Dilalah), juga hadits yang mencakup teks yang Qath’i al-Wurud juga mencakup teks yang Zanny al-Wurud.
Dipandang dari segi pemikiran yang filosofis (Muchlas Rowi, ed, 1999) metode pemahaman terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Hadits tidak lagi semata-mata bertumpu pada pola pemahaman yang aksiomatik-positifistik-monistik, sudah saatnya orientasi tersebut diganti dengan metode pemahaman yang bersifat asumtif-probabilistik-pluralistik. Karena, teks Al-Qur’an (temasuk hadits) mengandung unsur sign (satu pemaknaan), signal (dua pemaknaan) maupun symbol (banyak pemaknaan) dengan kata lain, tafsiran Al-Qur’an dan Hadits tersebut dapat bersifat monistik, dualistik, maupun pluralistik.
Paradigma rekonstruksi Islam merupakan paradigma yang seimbang antara amaliyah dengan fiqhiyah dan keseimbangan antara orientasi gerakan Islam yang historik empirik dan rutinitas dengan orientasi ke wilayah pemikiran yang metafistik-filosofik dengan tetap menjadikan teks-teks Al-Qur’an dan Hadits yang shahih sebagai acuan utama, yaitu umat Islam dengan visi khalifah-misi ibadah dengan Islam sebagai agama untuk seluruh umat manusia dan kemanusiaannya atau dapat diistilahkan dengan Paradigma Islam Humanis dan Humanisme Islam.
Penulis : Ninik Qurotul Aini