ALAMANAHJURNALIS.COM - Candi Tegowangi merupakan candi yang terletak di Desa Tegowangi, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri, kuang lebih 25 km dari kota Kediri atau 100 km dari Surabaya.
Dikutip dari beberapa sumber, candi Tegowangi merupakan bangunan suci yang berasal dari masa Majapahit.
Kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa candi Tegowangi didedikasikan sebagai Pendharmaan Raja Watsari (Bhre Matahun) ipar Raja Hayam Wuruk yang meninggal tahun 1388 M. Candi Tegowangi hanya tersisa bagian kaki candi berbentuk batur berukuran panjang 11,2 meter, lebar 11,2 meter dan tinggi 4,35 meter, menghadap ke barat tersusun dari bata merah pada bagian dalam dan batu andesit pada bagian luar.
Relief candi Tegowangi memuat berbagai informasi seperti kondisi sosial, budaya, maupun ekologi di masa lalu. Visualisasi kehidupan masyarakat Jawa kuno terselip di antara gambar relief Sudhamala, cerita pewayangan yang berisi adegan-adegan pensucian Dewi Durga yang dilakukan oleh Sadewa, tokoh bungsu dalam cerita Pandawa.
Relief ini menjelaskan, model busana masyarakat biasa yang dapat dilihat pada pahatan relief candi Tegowangi di bagian barat. Panil itu menampilkan seseorang sedang memikul hasil bumi. Hal tersebut bisa diartikan jika kehidupan warga bergantung pada sektor pertanian. Sedangkan relief di sisi selatan terukir seseorang yang membawa tombak, sedang berburu kelinci dan kuda.
Di panil sebelah timur terdapat dua orang yang sedang terlibat adu gulat. Ada juga gambar pria menggendong gajah menunjukkan sifat kearoganan manusia. Selain itu, digambarkan pula sosok keseharian pria Jawa yang tidak memakai apa-apa selain celana pendek hingga lutut.
Penggambaran cara berpakaian sosok wanita begawan seperti ukiran Dewi Kunti, ibu dari Nakula dan Sadewa mengenakan kemben dengan selendang yang disampirkan ke bahu. Setelan busana itu dilengkapi sejumlah perhiasan seperti anting, kalung dan gelang.
Sementara pakaian pria begawan seperti sosok Nakula dan Sadewa mengenakan celana pendek hingga lutut dengan dilengkapi ikat pinggang. Gaya rambut disanggul ke belakang dihiasi mahkota, lengkap dengan berbagai aksesoris yang menempel di badan.
Di balik cuplikan epos Mahabharata itu, tergambar suasana keseharian orang Jawa seperti cara berpakaian dan mata pencaharian masyarakat pada zaman dulu. (Djoko K)